Industri hasil tembakau (IHT) mengalami tekanan yang semakin besar seiring dengan perlambatan ekonomi nasional. Pada kuartal I/2025, sektor ini mencatatkan kontraksi yang paling dalam dibandingkan dengan sektor manufaktur lainnya, yaitu minus 3,77% secara tahunan. Hal ini sangat berbeda dengan pertumbuhan sebesar 7,63% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kondisi tersebut memicu seruan mendesak agar pemerintah menerapkan moratorium kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun mendatang.
Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI, Sudarto AS, tekanan terhadap industri padat karya ini telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Ia berpendapat bahwa tanpa adanya moratorium, potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran tidak dapat dihindari.
"Di tengah kondisi ekonomi yang stagnan dan PHK yang terus berlangsung, daya beli masyarakat tentu saja ikut tertekan. Harga rokok sudah mahal, sementara peredaran rokok ilegal semakin merajalela," ungkapnya pada hari Selasa (27/5/2025).
Sudarto menekankan bahwa kebijakan fiskal yang terlalu agresif, terutama kenaikan cukai secara beruntun, telah menyulitkan industri ini untuk bertahan. Padahal, IHT merupakan sektor strategis yang menyerap jutaan tenaga kerja, mulai dari petani tembakau hingga pelaku distribusi.
Beliau juga menyoroti inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam upaya melindungi sektor padat karya. Salah satu contohnya adalah kebijakan insentif PPh 21 dalam PMK No.10/2025 yang tidak memasukkan pekerja industri makanan, minuman, dan tembakau sebagai penerima manfaat.
"Kami merasa adanya diskriminasi. Pekerja di sektor tembakau dan mamin tidak termasuk dalam daftar penerima insentif. Hal ini tentu tidak adil bagi sektor yang justru memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja," tegasnya.
Serikat pekerja meyakini bahwa jika tidak ada kenaikan CHT hingga tahun 2028, IHT memiliki potensi untuk kembali mendorong pemulihan ekonomi nasional, terutama karena sebagian besar bahan bakunya berasal dari dalam negeri.
Senada dengan hal tersebut, peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menekankan pentingnya menjaga konsistensi kebijakan bagi industri padat karya seperti tembakau. Ia menyarankan agar efisiensi anggaran dapat diarahkan ke sektor-sektor yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat.
"Realokasi anggaran sebaiknya difokuskan pada sektor-sektor yang produktif dan mampu menyerap tenaga kerja. IHT adalah salah satu contohnya," jelasnya.
Ahmad juga menegaskan perlunya menjaga daya saing dan kepastian pasar bagi IHT sebagai bagian dari strategi untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.